Rabu, 04 Februari 2015

perang khandaq



Perang Khandaq (Perang Akhzab)
1.    Apakah yang dimaksud Perang Khandaq atau Perang Akhzab itu?
Perang Khandaq adalah perang umat Islam melawan pasukan sekutu yang terdiri dari Bangsa Quraisy, Yahudi, dan Gatafan. Perang ini melibatkan strategi perang yang begitu apik oleh kaum Muslimin terutama srategi pembuatan parit atas usulan dari sahabat Salman al-Farisi, sehingga perang ini disebut perang parit (khandaq). Perang Khandaq disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan. Proses penggalian parit dilakukan dengan perjuangan keras seluruh kaum Muslimin di Madinah, juga melibatkan kaum non-Muslim di Madinah meskipun mereka kemudian meninggalkan secara diam-diam sebelum selesai penggalian. Berkat strategi parit tersebut, dengan sangat kecewa dan menahan marah, serangan sekutu yang menyerbu kaum Muslimin di Madinah tidak dapat mencapai pasukan muslimin, serta menyeberangi parit besar tersebut. Dalam masa penyerbuan Khandaq ini, terjadi penghianatan Bani Qurayzhah yakni melanggar perjanjian dan membantu musuh-musuh islam untuk menghancurkn kaum Muslimin.
Selain, menggunakan strategi parit dari sahabat Salman, peristiwa ini juga menggunakan Strategi dari Nu’aym bin Mas’ud, seorang yang baru memeluk agama Islam dan tak ada seorangpun yang mengetahui keislamannya, dengan tipu muslihat yang sangat sempurna untuk memecah belah ketiga pihak suku dari sekutu. Kaum sekutu pun semakin mengalami kemunduran, apalagi dengan terpaan angin badai serta cuaca yang dingin, membuat mereka kembali pulang ke rumah, sementara Bani Quraizhah harus menerima hukuman dari kaum Muslimin karena telah melakukan penghianatan. Sehingga pada akhirnya perang ini berakhir tanpa terjadinya perang besar.

2.    Mengapa perang itu terjadi dan dinamai Perang Khandaq atau Perang Akhzab?
v Sebab-sebab terjadinya perang:
a.       Kaum kafir Quraisy dan kaum Yahudi  menilai dengan kekalahan kaum Muslimin pada perang Uhud, maka jika sekali lagi mereka diserang pastilah akan binasa.
b.      Utusan kaum Yahudi kepada kaum Quraisy di Makkah mengajak untuk mengadakan serangan gabungan menumpas kaum Muslimin dan Muhammad. Utusan ini terdiri dari Huyai bin Akhthab, Sallam bin Abil Huqaiq, Kananah bin Abil Huqaiq, Hauzah bin Qais dan Abu Amar (Bani Wail). Utusan Yahudi itu berjanji pula untuk menghasut kabilah-kabilah lain yang memang menaruh kebencian terhadap islam, agar bersama-sama gabung dalam serangan pamungkas nanti.






v Sebab dinamai Perang Khandaq atau Perang Ajhzab
Dinamakan Perang Khandaq (parit), karena padapeperangan itu kaum Muslimin menggunakan pertahanan parit, yang mereka buat di batas kota Madinah sebelah Utara. Dinamakan juga perang Akhzab (golongan-golongan), karena pada perang tersebut golongan Yahudi, Quraisy Makkah, juga Bani Salim, Bani Asad, Ghathafan, Bani Murrah dan Asyja’, Bani Fazarah, dan Bani Asad bergabung bersamsa-sama memerangi kaum Muslimin.

3.    Siapa saja yang terlibat dalam Perang Khandaq atau Perang Akhzab?
Jumlah kaum quraisy terdapat 10.000 orang dan kaum muslimin 3000 orang Pihak Quraish Mekah, yang dipimpin oleh Abu Sufyan, yang menerjunkan 4.000 prajurit, 300 penunggang kuda, dan 1.000-1.500 orang pada unta.
Rombongan kedua terbesar ini, menambahkan kekuatan sekitar 2.000 300 laki-laki berkuda yang dipimpin oleh Unaina bin Hasan Fazari. Bani Assad juga setuju untuk bergabung dengan mereka yang dipimpin oleh Tuleha Asadi. Dari Bani Sulaim, Nadir dijamin 700 pria.
Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja’, Bani Sulaim, Bani Sa’ad dan Ka’ab bin Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat pasukan musuh.

4.    Dimana Perang itu terjadi
Di sebelah utara kota madinah

5.    Kapan perang itu terjadi?
terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah atau pada tahun 627 Masehi, pengepungan Madinah ini dipelopori oleh pasukan gabungan antara kaum kafir Quraisy makkah dan yahudi bani Nadir (al-ahzaab). Pengepungan Medinah dimulai pada 31 Maret, 627 H dan berakhir setelah 27 hari.  menurut pendapat yang paling tepat. Karena sebagian ulama berbeda pendapat tentang waktu terjadinya peristiwa besar ini. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kejadian ini terjadi pada tahun keempat hijriyah. Sedangkan ulama lainnya seperti Ibnul Qayyim merajihkan bahwa peristiwa ini terjadi tahun kelima hijriyah. (Zadul Ma’ad, 3/269-270)

6.   Bagaimana proses terjadinya perang?
Kaum Yahudi dari Bani Nadhir yang telah diusir dari Madinah ke Khaibar bersepakat mengutus Huyai bin Akhthab, Sallam bin Abil Huqaiq, Kananah bin Abil Huqaiq, Hauzah bin Qais dan Abu Amar dari Bani Wail kepada suku  Quraisy di Makkah, suku-suku dan kabilah lain di sekitarnya serta kepada suku-suku dan kabilah dari sekitar Madinah untuk tugas rahasia.
Utusan ini berunding dengan pimpinan suku Quraisy, meminta agar suku Qurasy bersedia memerangi kembali kaum Muslimin Madinah. Mereka berjanji menghubungi pula suku dan kabila lain, baik di sekitar Makkah, maupun Madinah sehingga akan terhimpun pasukan gabungan yang besar, yang diharapkan sebagai serangan terakhir dalam menumpas Muhammad dan suku Quraisy dan yang lain-lainnya bersepakat untuk mengadakan serangan gabungan itu.
Jumlah pasukan gabungna skitar 10.000 pasukan suatu jumlah yang belum pernah dialami dalam peperangan sebelumnya.
Peperangan perang lainnya : Unta sebanyak 2.500 ekor, Kuda sebanyak 300 ekor. Panglima tertinggi pasukan Akhzab : Abu Sofyan.

makalah fiqih qurban dan aqiqah



KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wrh wrb.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”MAKALAH FIQIH QURBAN DAN AQIKAH”.
Dalam penyusunannya, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun kami berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb




                                                                                                                        Penyusun












DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................. ........................................................... ................1
Daftar isi.....................................................................................................................            ........... ....2
BAB I : Pendahuluan.................................................................................................            .............3-4
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan………..……………...................…………………………….....6

Bab II : Pembahasan.............................................................................................................7-27
            2.1. Qurban................................................................................................................7-13
                        a. Pengertian Qurban..........................................................................................7
                        b. Jenis Hewan untuk Qurban ........................................................................7-9
                        c. Waktu Pelaksanaan Qurban......................................................................9-10
                        d. Cara Pembagian Daging Qurban..................................................................10
                        e. Berqurban Secara Jama’i..............................................................................10
                        f. Hikmah Dari Qurban.....................................................................................11
                        g. Cara Berqurban untuk Orang yang telah wafat.......................................11-13
            2.2. Aqiqah..............................................................................................................13-18
                        a. Pengertian Aqiqah...................................................................................13-14
                        b. Jenis Hewan Aqiqah dan Jumblahnya....................................................14-15
                        c. Waktu Pelaksanaan aqiqah......................................................................15-16
                        d. Cara Pembagian Daging Aqiqah.............................................................16-17
                        e. Hikmah Aqiqah.......................................................................................17-18
            2.3. Melaksanakan Qurban dan Aqiqiah.................................................................18-19
            2.4. Cara Penyembelihan Hewan ...........................................................................19-21
            2.5. Hukum Qurban dan Aqiqah.............................................................................21-24
            2.6. Syarat Qurban dan Aqiqah...............................................................................24-27
Bab III : Penutup......................................................................................................................28
            3.1. Kesimpulan............................................................................................................28
            3.2. Saran......................................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN
Kata qurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).
            Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
            Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).
 
PENSYARI‘ATAN DAN HIKMAHNYA
            Qurban telah disyari‘atkan pada tahun kedua hijrah sama seperti ibadah zakat dan sembahyang Hari Raya.
Firman Allah subhanahu wata‘ala:

{ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ }

Maksudnya:
“Maka kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu dan sembelihlah qurban (sebagai tanda syukur)”
(Surah Al-Kauthar 108:2)
            Hikmah disyari‘atkan qurban ialah sebagai tanda bersyukur kepada Allah subhanahu wata‘ala di atas segala nikmatNya yang berbagai dan juga di atas kekalnya manusia dari tahun ke tahun.
            Ia juga bertujuan menjadi kifarah bagi pelakunya, sama ada disebabkan kesilapan-kesilapan yang telah dilakukan ataupun dengan sebab kecuaiannya dalam menunaikan kewajipan di samping memberikan kelegaan kepada keluarga orang yang berqurban dan juga mereka yang lain.
            Qurban tidak memadai dengan menghulurkan nilai harganya, berbeza dengan ibadah zakat fitrah yang bermaksud memenuhi keperluan golongan fakir, Imam Ahmad dikatakan menyebut amalan menyembelih qurban adalah lebih afdhal daripada bersedekah dengan nilai harganya.
            Sedangkan Aqiqah merupakan salah satu ajaran islam  yang di contohkan rasulullah SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang bisa kita petik di dalamnya. Di laksanakan pada hari ke tujuh  dalam kelahiran seorang bayi. Dan Aqiqah hukumnya sunnah muakad (mendekati wajib), bahkan sebagian ulama menyatakan wajib. Setiap orang tua mendambahkan anak yang shaleh, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah  satu acara penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih suci. Dengan aqiqah di harapkan sang bayi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Di tumbuhkan dan di kembangkan lahir dan batinnya dengan nilai-nilai ilahiyah.
            Aqiqah juga salah satu upaya kita untuk menebus anak kita yang tergadai. Aqiqah juga merupakan realisasi rasa syukur kita atas anugerah, sekaligus amanah yang di berikan allah SWT terhadap kita. Aqiqah juga sebagai upaya kita menghidupkan sunnah rasul SAW, yang merupakan perbuatan yang terpuji, mengingat  saat ini sunnah tersebut mulai jarang di laksanakan oleh kaum muslimin.















1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Ibadah qurban dan aqiqah yaitu dua ibadah dalam islam yang terkait dengan penyembelihan binatang. Kedua ibadaah ini terkadang dikesankan sama, padahal diantara keduanya terdapat banyak perbedaan, terutama tentang ketentuan-ketentuan dasarnya. Beberapa dari ketentuan kedua ibadah ini akan dijabarkan dalam pembahasan qurban dan aqiqah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

            1. Apakah pengertian Qurban?
            2. Apakah jenis hewan Qurban?
            3. Kapankah waktu pelaksanaan Qurban?
            4. Bagaimanakah cara pembagian daging Qurban?
            5. Apakah pengertian berqurban secara Jama’i?
6. Apakah pengertian Aqiqah?
7. Apakah jenis hewan Aqiqah dan berapakah jumlahnya?
            8. Kapankah waktu pelaksanaan Aqiqah?
            9. Bagaimanakah cara pembagian daging Aqiqah?
            10. Apakah pengertian melaksanakan Qurban dan Aqiqah?
11. Bagaimanakah penyembelihannya?
12. Apakah hukum Qurban dan Aqiqah?
            13. Apakah syarat Qurban dan Aqiqah?













1.3 TUJUAN PENULISAN

            1. Untuk mengetahui pengertian Qurban
            2. Untuk mengetahui jenis hewan Qurban
            3. Untuk mengetahui waktu pelaksanaan Qurban     
            4. Untuk mengetahui cara pembagian daging Qurban
            5. Untuk mengetahui pengertian berqurban secara Jama’i
            6. Untuk mengerti pengertian Aqiqah
7. Untuk mengetahui jenis hewan Aqiqah dan jumlahnya
            8. Untuk mengetahui waktu pelaksanaan Aqiqah
            9. Untuk mengetahui cara pembagian daging Aqiqah
            10. Untuk mengetahui pengertian melaksanaka Qurban dan Aqiqah
            11. Untuk mengetahui cara penyembelihannya
            12. Untuk mengetahui hukum Qurban dan Aqiqah
            13. Untuk mengetahui syarat Qurban dan Aqiqah













BAB II
PEMBAHASAN
                                                      
-         PENGERTIAN QURBAN DAN AQIQAH
A.     Qurban
Menurut bahasa, Qurbah berarti mendekatkan diri. Sedangkan menurut istilah, qurban berarti menyembelih hewan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik, yaitu tanggal 11,12 dan 13 Zulhijjah dengan maksud beribadah kepada Allah Swt.
Qurban merupakan istilah yang menunjukkan tujuan dari suatu ibadah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ilmu fiqih, selain istilah qurban terdapat beberapa istilah lainnya, yaitu nahr dan udiyah.yang memiliki arti yang hamper sama, yaitu az zabhu atau menyembelih hewan. Dua istilah ini lebih menunjukkan praktek ibadah kurbanyang disari’atkan, waktu pelaksanaan ibadah ini disebut yaumun nahri atau lebih dikenal dengan Idul Adha.
Dalil yang mengsariatkannya qurban adalah firman Allah. QS A-kausar 108: 1-3
إنّا اعطينا ك الكوثر، فصلّ لربّك وانحر ، إنّ شا نئك هو الابتر .
Artinya : Sungguh Kami Telah Memberimu (Muhammad) Nikmat Yang Banyak Maka Laksanakan Lah Sholat Dan Berqurban lah , Sungguh Orang Yang Membencimu Dialah Orang Yang Terputus .(Q.S.Al-Kausar 1-3)

Ketentuan Qurban:
      1.      Jenis hewan qurban
Hewan sembelihan adalah hewan ternak seperti onta, sapi, dan kambing maupun domba, baik jantan maupun betina, dengan berbagai jenisnya. Namun, tidak mencukupi seperti Sapi hutan, himar (keledai) dan kuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka,” (QS. Al Hajj 22 : 34)



Jenis-jenis hewan qurban:
- Tidak cacat secara fisik dan tidak sakit.
Imam Ibnu Ruslan al-Syafi’i berkata didalam Nadham Az-Zubad :
“Tidak diperbolehkan hewan yang sangat kurus, sakit, pincang, cacat bagian tubuhnya seperti sebagia
n telinga atau ekornya sebagaimana pula buta sebelah matanya, buta keduanya atau terputus pantatnya. Diperbolehkan hewan yang hanya cacat tanduknya dan hewan yang dikebiri.”

- Hewan yang digunakan untuk qurban telah ditentukan jenis-jenisnya, yaitu:
                              a. Domba                     : syaratnya telah berumur 1 tahun lebih atau sudah berganti gigi.
                               b. Kambing                 : syaratnya telah berumur 2 tahun atau lebih.
                              c. Sapi / Kerbau           : syaratnya yelah berumur 2 tahun atau lebih.
                              d. Unta                        : syaratnya telah berumur 5 tahun atau lebih.

            Imam Ibnu Qasim Al-Ghazi didalam Fathul Qarib berkata : “Dan mencukupi didalam qurban yakni jadza’ pada domba (الضأن) yakni berumur 1 tahun dan masuk tahun ke-dua, tsaniyya pada kambing (المعز) yakni berusia 2 tahun dan masuk tahun ke-tiga, tsaniyya pada onta (الإبل) yakni berusia 5 tahun dan masuk tahun ke-enam, dan tsaniyya pada sapi (البقر) berusia 2 tahun dan masuk tahun ke-tiga. Boleh qurban kolektif yakni 1 onta untuk 7 orang, seperti itu juga sapi untuk 7 orang, dan kambing (الشاة) untuk satu orang”.

      Hewan qurban yang lebih afdlol, menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi adalah onta, kemudian sapi, dan kambing. Adapun Imam An-Nawawi rahimahullah didalam kitab Al Majmu’ mengatakan : “Onta lebih utama daripada sapi, sapi lebih utama daripada kambing (الشاة), kambing domba (الضأن) lebih utama daripada kambing (biasa), jadza’ah domba (berumur 1 tahun lebih) lebih utama daripada tsaniyyah kambing (berumur 2 tahun lebih)”.

      “Berqurban dengan seekor kambing (الشاة) lebih utama daripada seekor onta atau sapi untuk 7 orang (gabungan/kolektik), berdasarkan ittifaq ulama” Berqurban dengan 7 ekor kambing (الغنم) lebih utama daripada onta dan sapi berdasarkan yang ashoh dari dua pendapat, sebab banyaknya darah ternak yang teralirkan. Berqurban dengan onta atau sapi lebih utama atas pertimbangan banyaknya dagingnya”.

      2.      Waktu Pelaksanaan Qurban
            Adalah sejak terbitnya matahari pada Yaumun Nahr (10 Dzulhijjah, penj) ) dan telah berlalu terbitnya dengan kadar shalat dua raka’at serta dua khutbah yang ringan, atau setelah masuk waktu shalat ‘Dluha dengan kadar shalat dua raka’at beserta khutbahnya yang sedang (ringan). Hal ini berdasarkan riwayat dari Al Barra’ bin ‘Asib radliyallahu ‘anh, ia berkata :

خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا، وَنَسَكَ نُسْكَنَا، فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ، فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ

      “Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam berkhutbah kepada kami pada yaumun Nahr (hari raya qurban) setelah shaalt, beliau bersabda : “barangsiapa yang shalat seumpama kami shalat dan menyembelih seumpama kami menyembelih (yaitu setelah shalat), maka sungguh ia telah benar, dan barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu daging kambing biasa (bukan qurban)”. (HR. Al Bukhari)
     
            Oleh karena itu menyembelih qurban sebelum shalat ‘Ied itu tidak mencukupi, tidak sah, tanpa ada perselisihan diantara ulama.
Adapun berakhirnya, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
      “Nas-nas Imam al-Syafi’i beserta ashhab sepakat bahwa waktu qurban berakhir ketika terbenam matahari pada hari ketiga dari hari Tasyriq (13 Dzulhijjah), dan ulama sepakat bahwa boleh menyembelih hewan qurban pada waktu-waktu tersebut (10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pen), baik malam hari maupun siang hari, akan tetapi bagi kami (Syafi’iyah) hukumnya makruh menyembelih hewan pada malam hari pada selain Udlhiyyah, dan pada Udlhiyyah (sembelih qurban) maka lebih makruh”.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda :

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

      “Semua hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)
      Apabila melewati batas waktu qurban ; jika berupa qurban sunnah, maka tidak ada qurban sebab bukan waktu yang disunnahkan untuk berqurban, sehingga jika ingin berqurban maka tunggu ditahun berikutnya diwaktu-waktu qurban. Namun, jika berupa qurban nadzar maka tetap wajib melakukan qurban, sebab merupakan kewajiban bagi yang bernadzar sehingga tidak gugur hanya karena melewati batas waktu.
     
      3.      Cara Pembagian Daging Qurban
Pemilik hewan kurban berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah dari Allah Ta’ala sendiri:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“.. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:
للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث.
“Si pemilik hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau menyedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan menyedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”
      4.      Berqurban Secara Jama’i
Berqurban jama’i adalah berqurban dimana seekor hewan untuk beberapa orang. Berkurban secara jama’i juga pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, yaitu dengan ketentuan seekor sapi, kerbau atau unta untuk maksimal tujuh orang. Praktek pelaksanaan qurban secara jama’i biasanya sering dilakukan pada kantor tertentu atau rumah tertentu.
5.     Hikmah dari Qurban
a.    Menambah cintanya kepada Allah SWT
b.    Akan menambah keimanannya kepada Allah SWT
c.    Dengan berkurban, berarti seseorang telah bersyukur kepada Allah SWT atas               segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan pada dirinya.
d.   Dengan berkurban, berarti seseorang telah berbakti kepada orang lain, dimana tolong menolong, kasih mengasihi dan rasa solidaritas dan toleransi memang dianjurkan oleh agama Islam.


6. Cara Berqurban Untuk Orang Yang Telah Wafat
            Imam Al Bahuti mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Imam Ahmad berkata: bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .
“Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.”
Beliau juga berkata:
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ
“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.”
Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ
“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.”
Kelompok yang membolehkan berdalil:
  1. Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan haji.
  2. Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.
  3. Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min  ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.
Sebenarnya, telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat. Berikut ini rinciannya:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ . فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ . وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ .
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ .  وَعَلَى هَذَا لَوِ اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال وَرَثَتُهُ – وَكَانُوا بَالِغِينَ – اذْبَحُوا عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ .
Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.

Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing gibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit  tanpa diwasiatkan dan waqaf.

B.     Aqiqah
Aqiqah berasal dari kata aqiq yang berarti rambut bayi yang baru lahir. Karena itu aqiqah selalu diartikan mengadakan, selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih hewan (sekurangnya seekor kambing). Menurut istilah syara’ artinya menyembelih ternak pada hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong.
Sebenarnya banyak sekali pengertian aqiqah, namun dari kesemuanya dapat diambil titik tengah sebagai berikut:
1.      Aqiqah merupakan upacara ritual yang dilaksanakan pada saat lahirnya keluarga baru atau kelahiran baru.
2.      Upacara ritual aqiqah terdiri dari beberapa bagian anatara lain menyembelih hewan, memotong rambut, sedekah, pemberian nama, serta acara lainnya.
3.      Inti aqiqah adalah ungkapan rasa syukur yang dituangkan dalam kurban, sedekah, emas atau perak ataupun berupa makanan.
4.      Dasar Hukum Aqiqah

Hukum Aqiqah adalah sunnah muakkad, sekalipun orang tua dalam keadaan sulit, “Aqiqah dilakukan Rasulullah dan Sahabat”. Seperti diketahui kelahiran seorang bayi merupakan berita yang sangat menggembirakan bagi orang tua karena itu sudah sepantasnya dirayakan dengan diselamati sebagai tanda syukur pada Allah swt. Tetapi kemiskinan dan kekayaan diantara umat islam menjadikan aqiqah sulit dilaksanakan apibila hukumnya wajib bagi orang miskin. Perintah Nabi berkenaan dengan penyembelihan aqiqah ini sudah disepakati oleh seluruh madzhab sebagai anjuran  (amar-linnadab) bukan (amar-liwujub) atau perintah wajib. Ini berarti apabila ada keluarga yang sama sekali tidak menyembelih aqiqah untuk anak-anaknya, maka tidak ada dosa atau hutang baginya untuk membayarnya dimasa tua atau setelah kaya nanti.
Akan tetapi dalam pandangan lain terdapat di dalam hadis Rasulullah yang berbunyi:

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْـنَـةٌ بِـعَـقِـيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَـنْـهُ يَـوْمَ سَابِـعِـهِ وَيُـسَـمَّى فِيْـهِ وَيُـحْلَـقُ رَأْسُـهُ
Artinya: “Setiap anak yang lahir tergadai aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu ia diberi nama dan digunduli rambutnya.” (Hadits Sahih Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Baihaqi dan Hakim).

Menurut hadis diatas ada yang menyatakan bahwa menyembelih hewan aqiqah itu wajib dan bila dimasa kecilnya belum di aqiqahkan maka setelah tua dia sendiri wajib mengeluarkan aqiqahnya.
Menurut madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya mubah dan tidak sampai mustahab (dianjurkan). Hal itu dikarenakan pensyariatan qurban telah menghapus seluruh syariat sebelumnya yang berupa penumpahan darah hewan seperti aqiqah, rajabiyah dan‘atirah.
Dengan demikian, siapa yang mau mengerjakan ketiga hal ini tetap diperbolehkan, sebagaimana juga dibolehkan tidak mengerjakannya. Penghapusan seluruh hal ini berlandaskan pada ucapan Aisyah, “Syariat kurban telah menghapus seluruh syariat berkenaan dengan penyembelihan hewan yang dilakukan sebelumnya”.

            Ketentuan aqiqah
1.      Jenis Hewan Aqiqah Dan Jumlahnya
Banyak ulama berpendapat bahwa semua hewan yang dijadikan hewan kurban, yaitu: unta, sapi, kerbau, kambing, domba, dapat dijadikan hewan aqiqah. Sedangkan syarat-syarat hewan yang dapat disunahkan untuk aqiqah itu sama dengan syarat yang ada pada hewan kurban, baik dari segi jenisnya, ketidak cacatannya, kejelasannya.
Syarat-syarat hewan yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat hewan untuk kurban, yaitu:
1.       Tidak cacat.
2.      Tidak berpenyakit.
3.       Cukup umur, yaitu kira-kira berumur satu tahun.
4.      Warna bulu sebaiknya memilih yang berwarna putih.

Jenis hewan yang disembelih Rasulullah saw dalam aqiah saat itu bukanlah inti drii aqiqah itu sendiri, sehingga andaikan diubah dengan seekor burung kecil bahkan tidak menyembelih hewan melainkan sekedar nasi dan lauk pauk pun selama berniat mensyukuri nikmat lahirnya putra sah disebut aqiqah.

Ada dua hadis yang menerangkan tentang jumlah binatang aqiqah yang disembelih untuk seorang anak. Hadist yang pertama, menerangkan bahwa Rasulullah saw mengaqiqahkan cucu laki-laki beliau, masing-masing dengan seekor kambing.

(ا (رواه أبو داودعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشً

Artinya:  “Dari Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah SAW mengaqiqahi untuk hasan dan Husain dengan masing-masing satu kambing (HR Abu Daud dengan riwayat yang shahih).”

Sedangkan hadis yang kedua menerangkan bahwa seorang anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing, sedang anak perempuan diaqiqahkan dengan seekor kambing. Sabda Rasulullah SAW:

 عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ قَاَلَ : قَاَلَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ اَحَبَّ مِنْكُمْ اَنْ يُنْسَكَ عَنِ
وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ عَنِ الْغُلاَمِ شاَتَاَنِ مُكاَفأَ َتاَنِ وَعَنِ الْجاَ رِيَةِ شاَةٌ . (رواه احمد وابو داود والنسائى)

Artinya: “ Telah berkata Rasulullah SAW : Barang siapa diantara kamu yang ingin beribadat tentang anaknya hendaklah dilakukannya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama umumnya dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).

Sunnah untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor kambing ini hanya berlaku untuk orang yang mampu melaksanakannya, karena tidak semua orang untuk mengaqiqahi bayi laki-laki dengan dua kambing. Ini termasuk pendapat yang wasath (tengah-tengah) yang menghimpun berbagai dalil.

      2.      Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Aqiqah disunnahkan dilaksanakan pada hari ketujuh. Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »

Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari waktu kapan dihitung hari ketujuh?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها                         
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang jadi hitungan hari berikutnya.” Barangkali yang dijadikan dalil adalah hadits berikut ini,

تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ

Disembelih baginya pada hari ketujuh. Hari yang dimaksudkan adalah siang hari.

Misalnya ada bayi yang lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh sudah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilaksanakan pada hari Ahad (27/06).

Jika bayi tersebut lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan awalnya tidak dimulai dari hari Senin, namun dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi tersebut pada hari Senin (28/06). Semoga bisa memahami contoh yang diberikan ini.

Bagaimana jika aqiqah tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini terdapat silang pendapat di antara para ulama.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali, waktu aqiqah dimulai dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dianggap sembelihan biasa.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, waktu aqiqah adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun membatasi bahwa aqiqah sudah gugur setelah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum usia baligh, dan ini menjadi kewajiban sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berpendapat bahwa jika aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilaksanakan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilaksanakan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aqiqah tidaklah dianggap luput jika diakhirkan waktunya. Akan tetapi, dianjurkan aqiqah tidaklah diakhirkan hingga usia baligh. Jika telah baligh belum juga diaqiqahi, maka aqiqahnya itu gugur dan si anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.
Dari perselisihan di atas, penulis sarankan agar aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan waktu yang disepakati oleh para ulama.
Adapun menyatakan dialihkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini harus butuh dalil.
Sedangkan menyatakan bahwa aqiqah boleh dilakukan oleh anak itu sendiri ketika ia sudah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka jika ini berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikatakan mengaqiqahi dirinya ketika dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, karena riwayat yang menyebutkan semacam ini lemah dari setiap jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri menyatakan bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana disebutkan dalam salah satu kitab fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar[6]Wallahu a’lam.

3.      Cara Pembagian Daging Aqiqah
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi.
Syaikh Utsaimin berkata: Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan daging aqiqah yang sudah matang.
Syaikh Jibrin berkata: Sunnahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya.
Syaikh Ibnu Bazz berkata: Dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang faqir untuk menyantapnya, dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang terhimpun di dalam Al lajnah Ad Daimah.
Ada perbedaan lain antara 'Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan 'Aqiqah dibagi-bagikan dalam keadaan matang.
Kita dapat mengambil hikmah syariat 'Aqiqah. Yakni, dengan 'Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan 'Aqiqah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya. Dan lebih dari itu semua, bahwasanya 'Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam.


4.  Hikmah Aqiqah
Sejak seorang suami memancarkan sperma kepada istrinya, lalu sperma itu berlomba-lomba mendatangi panggilan indung telur melalui signyal kimiawi yang dipancarkan darinya, sejak itu tanpa banyak disadari oleh manusia, sesungguhnya setan jin sudah mengadakan penyerangan kepada calon anak mereka. Hal tersebut dilakukan oleh jin dalam rangka membangun pondasi di dalam janin yang masih sangat lemah itu, supaya kelak di saat anak manusia tersebut menjadi dewasa dan kuat, setan jin tetap dapat menguasai target sasarannya itu. Maka sejak itu pula Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umatnya cara menangkal serangan yang sangat membahayakan itu sebagaimana yang disampaikan Beliau saw. melalui sabdanya berikut ini :

حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا *

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: apabila seseorang diantara kamu ingin bersetubuh dengan isterinya hendaklah dia membaca:

بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Yang artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Wahai Tuhanku! Jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami. Sekiranya hubungan aantara suami istri itu ditakdirkan mendapat seorang anak.


Apa hikmah aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya ada selang waktu antara kelahiran dan waktu aqiqah. Pada awal kelahiran tentu saja keluarga disibukkan untuk merawat si ibu dan bayi. Sehingga ketika itu, janganlah mereka dibebani lagi dengan kesibukan yang lain. Dan tentu ketika itu mencari kambing juga butuh usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari pertama kelahiran sungguh ini sangat menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang cukup lapang untuk pelaksanaan aqiqah.”



C.     Melaksanakan Qurban Dan Aqiqah
Orang yang paling bertanggung jawab melakukan aqiqah adalah ayah dari bayi terlahir pada waktu kapan pun ia memiliki kesanggupan. Namun jika dikarenakan si ayah memiliki halangan untuk mengadakannya maka si anak bisa menggantikan posisinya yaitu mengaqiqahkan dirinya sendiri, meskipun perkara ini tidak menjadi kesepakatan dari para ulama.
Dari dua hal tersebut diatas maka ketika seseorang dihadapkan oleh dua pilihan dengan keterbatasan dana yang dimilikinya antara kurban atau aqiqah maka kurban lebih diutamakan baginya, dikarenakan hal berikut :
1.      Perintah berkurban ini ditujukan kepada setiap orang yang mukallaf dan memiliki kesanggupan berbeda dengan perintah aqiqah yang pada asalnya ia ditujukan kepada ayah dari bayi yang terlahir.
2.      Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan seseorang mengaqiqahkan dirinya sendiri namun perkara ini bukanlah yang disepakati oleh para ulama.

Kewajiban aqiqah ada di pundak orang tua. Akan tetapi, jika orang tuanya tidak mampu maka bila si anak telah mempunyai kelapangan rezeki, dapat melaksanakan sunah aqiqah itu sendiri.
Dalam pelaksanaannya aqiqah tidak dapat digabung dengan berkurban. Orang yang membeli hewan untuk aqiqah harus membeli satu hewan lagi untuk berkurban jika dilakukan pada Hari Raya Idul Adha. Terkait waktu pelaksanaannya, aqiqah tidak terbatas (Bisa kapan saja).
Tetapi, kurban hanya boleh dilaksanakan pada Dzulhijjah. Sejak usai shalat Idul Adha hingga hari Tasyriq, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di Padang Arafah.
Pada masa sekarang orang yang berkurban dapat menyerahkan kurbannya kepada orang yang amanah, dalam hal ini lembaga amil zakat.
Adapun syarat diterimanya hewan kurban oleh Allah SWT ialah menggunakan harta yang halal saat membeli hewan kurban tersebut. Kedua, dikerjakan pada waktunya saat Hari Raya Idul Adha dan tiga hari Tasyriq. Ketiga, harus dilakukan dengan ikhlas. Keempat, menggunakan hewan yang cukup umur, besarnya, sehat, dan tidak cacat. Hewan tersebut berupa sapi, kambing, domba, kerbau atau unta.
Walaupun sama-sama menyembelih hewan, tetapi kurban lebih utama dibandingkan aqiqah (jika sudah dewasa). Hal itu karena berkurban disebut beberapa kali dalam Alquran. Sedangkan, aqiqah hanya sebagai bentuk rasa syukur yang hanya terdapat dalam hadis saja.
Karena itu pula, niat aqiqah dan kurban tidak boleh digabungkan. Soal teknis penyembelihan dan distribusi hewan kurban, ia menyarankan agar melibatkan lembaga amil zakat. “Mereka memiliki data mustahik yang lebih banyak,” . Sehingga, tercapai pemerataan pembagian daging kurban.
Pendistribusian daging qurban sebaiknya merupakan daging mentah. Karena, hak mereka daging tersebut akan dimasak atau dijual kembali. Ini berbeda dengan aqiqah yang distribusinya dilakukan dengan dimasak terlebih dahulu. Sehingga, mereka yang menerima dapat segera menikmatinya tanpa menyusahkan untuk memasak lagi. Karena, aqiqah merupakan wujud rasa syukur atas lahirnya seorang anak.

D.    Cara Penyembelihan Hewan
      Disunnahkan, hewan qurban disembelih sendiri jika mudlohi (orang yang berqurban) itu laki-laki dan mampu menyembelih. Boleh diwakilkan.

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : " ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ وَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Dari Anas ra beliau berkata: “Rasulullah SAW ber-Qorban dengan 2 ekor kambing yang putih-putih dan bertanduk, beliau menyembelih dengan tangannya sendiri dengan membaca Basmalah dan Takbir serta meletakkan kakinya di dekat leher kambing tersebut.” (HR. Al Bukhari)

فَنَحَرَ ثَلَاثًا وَسِتِّينَ بِيَدِهِ، ثُمَّ أَعْطَى عَلِيًّا، فَنَحَرَ مَا غَبَرَ

"Kemudian beliau menyembelih 63 ekor hewan qurban dengan tangannya sendiri, lalu menyerahkan kepada Sayyidina Ali,  Sayyidina Ali pun menyembelih hewan yang tersisa" (HR. Muslim)

      Imam Nawawi rahimahullah didalam Al Majmu’ berkata : “Dan mustahab (sunnah) menyembelih hewan qurbannya sendiri berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anh…, dan boleh digantikan oleh lainnya berdasarkan riwayat Jabir…, juga mustahab (sunnah) untuk tidak mewakilkan kecuali pada orang muslim karena itu adalah qurbah (ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) maka lebih utama tidak mewakilkan kepada orang kafir, dan juga karena yang demikian itu menghindar dari perselisihan pendapat, sebab menurut Imam Malik tidak sah (tidak mencukupi) sembelihannya, maka (adapun) jika mewakilkan pada orang Yahudi dan Nasrani, itu boleh karena ia termasuk ahli berkurban. Dan mustahab (disunnahkan) orang yang menyembelih adalah orang alim karena ia lebih mengetahui cara-cara menyembelih. Disunnahkan pula, apabila diwakilkan pada orang lain, menyaksikan proses penyembelihan berdasarkan riwayat Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu ‘anh”.

      Imam Mawardi al-Syafi’I berkata : “.. dan kecuali perempuan, maka disunnahkan mewakilkan penyembelihan hadiahnya dan qurbannya pada orang laki-laki”.

      Tidak boleh mewakilkan pada orang penganut Watsani (penyembah berhala), majusi dan orang murtad, namun boleh mewakilkan pada ahli kitab, perempunan dan anak kecil, akan tetapi ulama Syafi’iyyah memakruhkan mewakilkan pada anak kecil (shobiy), dan (menurut pendapat yang ashoh) tidak makruh mewakilkan pada wanita haid sebab wanita haid lebih utama daripada shobiy, dan ada pun shobiy lebih utama daripada orang kafir al-kitabi.

-          Dianjurkan membaca basmalah dengan sempurna “Bismillahirrahmahmanirrahiim”.
-          Dianjurkan juga membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa
-          Sallam. Dianjurkan bertakbir sebanyak 3 kali (menurut Imam Mawardi). Dianjurkan
-          Berdo’a bil-Qabul, seperti Allahumma Hadzihi Minka wa Ilayka Fataqabbal. 

Binatang-binatang halal menurut syara’, dagingnya akan halal dimakan apabila disembelih menurut ketentuan ajaran islam dan bukan disembelih atas nama selain Allah.
Menyembelih hukumnya wajib (kecuali apabila tidak memungkinkan seperti dengan tembakan, adapun ketentuannya adalah sebagai berikut:
      1)      Bagi binatang yang dapat disembelih lehernya;
      2)      Memutuskan hulkom (tenggorokan) yaitu saluran pernafasan;
      3)      Memutuskan mari’ (tekak) yaitu saluran temat mengalirnya makanan.

Sedangkan syarat-syarat penyembelihan adalah yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a.       Orang islam atau ahli kitab,
b.      Menyembelihnya harus dengan sengaja,
c.       Tidak dengan main-main,
d.      Artinya disertai niat karena Allah dan alat penyembelihan (pisaunya, goloknya) harus tajam.

E. HUKUM QURBAN DAN AQIQAH
            Melaksanakan ibadah qurban dan aqiqah amat digalakkan oleh Islam kerana fadilatnya cukup besar. Kaedah melaksanakan kedua-dua ibadah ini hampir sama dari segi hukum dan syarat-syaratnya walaupun terdapat beberapa perbedaan.

Di dalam Qur’an dan Hadist telah dituliskan beberapa hukum berqurban yaitu:
  • Wajib bagi yang mampu
Kurban wajib bagi yang mampu, dijelaskan oleh firman Allah QS. Al-Kautsar ayat 1-3:

إنّا اعطينا ك الكوثر، فصلّ لربّك وانحر ، إنّ شا نئك هو الابتر .

Artinya: ”Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikan lah shalat karena Tuhanmu dan berkubanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Al-Kautsar 1-3)

  • Sunnah
Berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW menjelaskan:
ﻘﺎﻞاﻤﺭﺖﺒﺎﻠﻧﺣﺭﻮﻫﻭﺴﺑﺔﻠﻛﻡ
Artinya: Nabi SAW bersabda: ”Saya diperintah untuk menyembelih kurban dan kurban itu sunnah bagi kamu.”
  • Sunnah Muakkad
Berdasarkan hadist riwayat Daruqutni menjelaskan:
ﻜﺗﺏﻋﻝﺍﻠﻧﺣﺭﻮﻠﯾﺱﺒﻭﺍﺠﺏﻋﻟﯾﻛﻡ
Artinya: ”Diwajibkan melaksanakan kurban bagiku dan tidak wajib atas kamu.”(HR. Daruqutni)

Namun begitu, ibadah qurban adalah wajib ke atas Nabi Muhammad s.a.w. seperti mana yang terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Termizi bermaksud: "Diwajibkan ke atasku melaksanakan ibadah qurban namun ia merupakan suatu amalan sunat bagi kamu."

            Akikah menurut Imam al-Syarbini dalam kitabnya, al-Iqnaa ialah binatang yang disembelih pada hari kelahiran bayi dan sewaktu mencukur rambut bayi tersebut. Hukum ibadah aqiqah adalah sunat muakkad seperti mana ibadah qurban.

            "Namun, ibadah qurban dan aqiqah akan bertukar menjadi wajib sekiranya seseorang itu bernazar untuk melakukannya. Islam menetapkan keadaan dan masa tertentu bagi memastikan ibadah qurban dan aqiqah dapat dilaksanakan sah di sisi syarak," jelas pensyarah Fakulti Undang-undang dan Syariah, Kolej Universiti Islam Malaysia (KUIM), Wan Abdul Fattah Wan Ismail.

            Menurut beliau, terdapat beberapa kekeliruan yang sering timbul antara ibadah qurban dan aqiqah khususnya dalam kes menggabungkan niat qurban dan aqiqah sekali gus. Dalam kitab Tuhfah dan al-Fatawa al-Kubra, Ibn Hajar al-Haitami menyatakan bahawa: "Jika seseorang itu berniat ibadah qurban dan aqiqah ke atas seekor kambing sekali gus maka kedua-duanya dianggap sebagai batal." Ini kerana korban dan akikah mengandungi makna sunat yang tersendiri.

            Ibadah qurban bertujuan untuk membersihkan diri mereka daripada melakukan dosa, manakala aqiqah adalah sebagai tanda menyambut kelahiran bayi.

            Selain itu, persoalan yang turut mengelirukan ialah sama ada perlu atau tidak orang yang berqurban menyaksikan sendiri penyembelihan haiwan tersebut. Rasulullah s.a.w. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim bermaksud: "Wahai Fatimah! Berdirilah di sisi qurbanmu dan saksikan ia sesungguhnya tetesan darahnya yang pertama itu pengampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu."

            Hadis di atas tidak menunjukkan bahawa ia adalah satu kemestian untuk menyaksikan ibadah qurban dan akan terbatalnya ibadah tersebut sekiranya tidak berbuat demikian.

            "Dengan kata lain, ibadah qurban dan aqiqah boleh dilaksanakan secara berwakil bagi pihak yang ingin melaksanakan qurban dan aqiqah sekalipun mereka tidak ada bersama-sama ditempat ibadah tersebut dilaksanakan, "
jelas al-Hakim.

            Terdapat banyak kelebihan dalam mengerjakan ibadah qurban dan aqiqah seperti mana yang terkandung dalam surah al-Kauthar, ayat dua bermaksud: "Maka dirikanlah solat kerana Tuhanmu dan berqurbanlah. "


10
Dengan melaksanakan ibadah qurban juga dapat menangkis jiwa manusia daripada sikap kedekut dan bakhil. Sebaliknya dapat melahirkan perasaan kasih sayang sesama Muslim dengan menghulurkan bantuan kepada mereka yang memerlukan.
Firman Allah s.w.t. dalam surah al-Haj ayat 36: "Dan telah Kami jadikan unta-unta itu sebahagian daripada syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak daripadanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah diikat).
Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur."

            Kelebihan mengerjakan ibadah aqiqah dalam kitab Sabila al-Muhtadin, Imam Ahmad menyebut, anak-anak yang tidak dilaksanakan aqiqah tidak akan datang pada hari kiamat untuk memohon syafaat bagi kedua ibu bapanya.

            Seperti yang diketahui, ibadah qurban dan aqiqah selain memenuhi tuntutan agama ia juga sebagai pemangkin untuk mengembangkan syiar Islam. Ini termaktub dalam matlamat utama ibadah ini dilakukan iaitu untuk membantu fakir miskin dan golongan yang kurang bernasib baik di kalangan umat Islam.


            Tetapi, apa yang dapat dilihat pada hari ini, di sesetengah tempat, ibadah qurban dan aqiqah telah bertukar menjadi adat kerana syariatnya tidak dipenuhi. Daging-daging tidak dibagihkan dengan betul dan dimasak seolah-olah kenduri biasa.

            "Sebenarnya, begitu ramai pihak yang ingin melakukan ibadah tersebut semata-mata untuk membantu orang yang kurang berkemampuan. Ini mungkin disebabkan mereka tidak mengetahui secara khusus tentang kaedah pengagihan yang diamalkan sekarang," ujarnya.

            Bagi memastikan ibadah qurban dilaksanakan dengan sistematik khususnya melibatkan pengagihan, sewajarnya ia diberikan kepada penganjur yang boleh mengendalikannya dengan adil dan telus.

            Maka dengan mengadakan program dan akikah di tempat yang umat Islam tertindas seperti Kemboja, Palestin dan Iraq amat bertepatan dengan matlamat ibadah tersebut iaitu membantu umat Islam yang tertindas dan hidup dalam kemiskinan. Secara tidak langsung, ia dapat meningkatkan hubungan persaudaraan di kalangan umat Islam
.

F.   SYARAT QURBAN DAN AQIQAH
1.         Untuk dijadikan ibadah qurban wajib ataupun sunat adalah disyaratkan dia mampu  melaksanakannya.
2.         Orang yang dianggap mampu ialah mereka yang mempunyai harga untuk binatang qurban yang lebih daripada keperluannya dan keperluan mereka yang di bawah tanggungannya untuk hari raya dan hari–hari tasyrik kerana inilah tempoh masa bagi melakukan qurban tersebut.
3.         Kedudukannya sama seperti dalam masalah zakat fitrah, mereka mensyaratkan ia hendaklah merupakan yang lebih daripada keperluan seseorang juga keperluan mereka yang di bawah tanggungannya pada hari raya puasa dan juga malamnya sahaja.
4.         Hendaklah binatang yang diqurbankan itu tidak mempunyai sebarang kecacatan yang menyebabkan kekurangan kuantiti dagingnya ataupun menyebabkan kemudharatan terhadap kesihatan. Contohnya cacat yang teruk pada salah satu matanya, berpenyakit yang teruk, tempang atau kurus yang melampau.
5.         Hendaklah qurban itu dalam masa yang tertentu iaitu selepas sembahyang Hari Raya Haji pada 10 Zulhijjah hingga sebelum terbenam matahari pada akhir Hari Tasyrik iaitu pada 13 Zulhijjah.
6.         Hendaklah disembelih oleh orang Islam.
7.         Orang yang berkongsi mengorbankan unta atau lembu tidak lebih dari tujuh orang di mana masing–masing menyumbang 1/7 bahagian.
8.         Hendaklah binatang tersebut tidak ada cacat yang boleh mengurangkan dagingnya serta sampai umur. 
 
PERKARA SUNAT SEMASA ‘AQIQAH
1.         Berdoa semasa hendak menyembelih:
           
بِسْمِ اللهِ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَإِلَيْكَ عَقِيْقَةٌ ... (sebut nama anak)
            Maksudnya:
            "Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, binatang ini daripada-Mu dan          kembali kepada-Mu, ini ‘aqiqah…".
2.         Menyembelih ketika matahari sedang naik.
3.         Daging ‘aqiqah dimasak terlebih dahulu sebelum disedekahkan.
4.         Tidak mematah-matahkan tulang-tulang daripada binatang ‘aqiqah, hanya mencerai-   ceraikan sendi-sendinya.
5.         Menyedekahkan daging ‘aqiqah kepada fakir miskin.
6.         Memasak daging ‘aqiqah dengan cara gulai manis untuk dihidangkan kepada tetamu. 

PERKARA YANG PERLU DILAKUKAN KETIKA MENYAMBUT KELAHIRAN ANAK:
1.         Mengazankan di telinga sebelah kanan anak yang baru lahir.
2.         Membaca iqamah di telinga sebelah kirinya.
3.         Membaca doa di kedua-dua belah telinganya, contohnya membaca surah Al-Ikhlas. 
4.         Menyapu lelangit kanak-kanak tersebut dengan benda-benda yang manis seperti buah tamar atau pisang.
5.         Menamakan kanak-kanak tersebut dengan nama-nama yang baik pada hari ketujuh kelahirannya. 
6.         Mengadakan jamuan dan doa kesyukuran sempena kelahirannya.
7.         Mencukur rambut kanak-kanak tersebut selepas menyembelih ‘aqiqah untuknya.
8.         Memberi sedekah emas atau perak seberat rambut kanak-kanak yang dicukur itu atau uang yang sama nilai dengan emas atau perak tersebut.
9.         Menyedekahkan daging ‘aqiqah kepada fakir miskin.

HUKUM DAGING QURBAN

            Qurban yang wajib iaitu yang dinazarkan ataupun yang ditentukan sama ada dengan menyebut, “Ini adalah qurban”, maka orang yang berqurban tidak boleh memakannya. Dia wajib menyedekahkan semuanya sekali.
            Anak kepada binatang qurban yang ditentukan juga, perlu disembelih seperti ibunya, tetapi bezanya ia boleh dimakan kesemuanya oleh tuan yang mengurbankannya kerana disamakan dengan hukum susu, kerana tuannya harus meminum susu binatang qurban yang selebih daripada anaknya walaupun perbuatan itu makruh.
            Bagi qurban sunat, maka tuannya sunat memakannya, iaitu yang afdhalnya dia hendaklah memakannya beberapa suap sebagai mengambil berkat. Ini bersesuaian  dengan firman Allah subhanahu wata‘ala:

{
فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ }

Maksudnya:
“Dengan yang demikian makanlah kamu dari (daging) binatang-binatang qurban itu dan berilah makan kepada orang yang susah, yang fakir miskin.”
(Surah Al-Hajj, 22:28)
           
Hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bayhaqi pula ada menyebut bahawa Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam telah memakan sebahagian daripada hati binatang qurbannya. Hukum memakan daging qurban pula tidak wajib, ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata‘ala:

{
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَهَا لَكُم مِّن شَعَآئِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }

Maksudnya:
“Dan Kami jadikan unta (yang dihadiahkan kepada fakir miskin Makkah itu) sebahagian dari syi‘ar agama Allah untuk kamu; pada menyembelih unta yang tersebut ada kebaikan bagi kamu.”
(Surah Al-Hajj, 22:36)

            Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahawa ia dijadikan untuk kita. Setiap perkara yang dijadikan untuk manusia, maka dia diberi pilihan sama ada mahu memakannya atau tidak.
            Orang yang berqurban juga boleh menjamu kepada kalangan yang kaya, tetapi tidak boleh diberi milik kepada mereka. Yang boleh cuma dihantar kepada mereka sebagai hadiah yang mana mereka tidak akan menjualnya atau sebagainya
            Mengikut pendapat dalam qawl jadid, orang yang berqurban boleh memakan sebahagian daripada qurbannya. Mengikut qawl qadim pula harus memakan sebanyak separuh, manakala bakinya hendaklah disedekahkan.
            Sebahagian ulama’ berpendapat daging qurban dibahagikan kepada tiga bahagian iaitu 1/3 daging disedekahkan dalam keadaan mentah, 1/3 daging dimasak dan dibuat jamuan dan 1/3 daging dimakan oleh orang yang berqurban.
            Pendapat yang asah pula, adalah wajib bersedekah dengan sebahagian daripada daging qurban walaupun sedikit kepada orang Islam yang fakir walaupun seorang. Walau bagaimanapun, yang lebih afdhal hendaklah disedekahkan kesemuanya kecuali memakannya beberapa suap untuk mengambil keberkatan seperti yang telah dijelaskan.
            Bagi qurban sunat pula, orang yang berqurban boleh sama ada bersedekah dengan kulit binatang tersebut atau menggunakan sendiri, seperti mana dia harus mengambil faedah daripada binatang itu semasa hidupnya. Tetapi bersedekah adalah lebih afdhal. Bagi qurban yang wajib  pula, kulit binatang itu wajib disedekahkan.
            Qurban juga tidak harus dibawa keluar dari negeri asalnya sebagaimana yang ditetapkan dalam masalah membawa keluar zakat.







BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum qurban dan aqiqah ini sunah, tetapi sunah muakadah (sunah yang amat dianjurkan untuk dilaksanakan) bagi orang-orang yang mampu. Ibadah qurban dan aqiqah ini selain besar pahalanya di sisi Allah Swt. Juga sangat erat kaitannya dengan aspek kemanusiaan Khusus untuk akikah hanya dianjurkan satu kali seumur hidup.
Qurban berarti menyembelih hewan pada hari raya idul Adha dan hari tasyrik, yaitu tanggal 11,12 dan 13 Zulhijjah dengan maksud beribadah kepada Allah Swt. akikah adalah menyembelih hewan sebagai rasa syukur kepada Allah atas kelahiran anak. Penyembelihan hewan aqiqah ini disertai dengan pencukuran rambut anak dan pemberian nama jika dilaksanakan sebelum diberikan nama.
B.     SARAN
      Terimakasih atas keritik dan saranya, karena dengan bersama-sama dalam mendiskusikan makalah ini kami dapat mengetahui kekurangan yang terdapat dalam makalah ini baik dalam bahasa maupun bentuk tulisannya.